Mengapa Kita Harus Mengenal Munir

 

Di tengah derasnya suara, satu suara yang sebenarnya justru tenggelam. Dan itu bukan karena tidak ada. Tapi karena kita tak mau mendengar." Mr.Chulleyevo

Hari Ini, Suara yang Tersumbat Lebih Deras dari Dulu

Di Jakarta, hujan deras mengguyur kota pukul 08.00 WIB. Di tengah keramaian jalan raya, sebuah mobil polisi melintas, sirene nyaring, mobil-mobil lain bersiul, bergerak cepat. Tapi tak seorang pun dari mereka melambat.

Saat itu, di suatu ruang acara peresmian startup digital, seorang mahasiswa muda berdiri, mengangkat mikrofon. “Saya ingin tanya: di era informasi yang begitu cepat, mengapa kita justru semakin buta terhadap keadilan?”

Pertanyaan itu pecah seperti telur di atas kompor panas. Tapi tak ada ruang untuk jawaban. Acara terus berjalan. Sinar lampu memantul dari kaca gedung. Di layar besar, tersenyum orang-orang berpakaian rapi: trendsetter, influencer, ceo muda, pencapaian gemilang. Tapi tak ada yang menyebutkan nama Munir.

Munir? Siapa itu?

Pernah suati momen saat di ruang kelas perkuliahan di Manado, seorang dosen muda mengajukan pertanyaan ini kepada mahasiswa semester tiga. "Siapa yang pernah dengar nama Munir?"

Dua tangan terangkat. Tiga menit kemudian, papan respons google form menunjukkan: 14 dari 40 mahasiswa. Tiga orang di antaranya hanya tahu nama dari seruan masa lalu tahun 2004, pesawat dan fakta bahwa dia tewas.

“Itu kan zaman dulu, Pak”, ujar salah satu mahasiswa. “Sekarang kita sudah di era AI, YouTube, PO. Bisa buka jurnal gratis, bisa bahas krisis kemanusiaan dari Bali ke Gaza. Kenapa kita harus balik ke masa lalu?”

Namun, kemacetan informasi justru membuat kita kehilangan sejarah paling penting. Munir bukan hanya tentang 9 September 2004. Ia bukan hanya korban pembunuhan di dalam pesawat Garuda Indonesia. Bukan hanya tokoh LSM yang ngotot menuntut keadilan. Ia adalah satu-satunya suara yang berani mengatakan: kekuasaan tanpa akuntabilitas adalah korupsi sistemik.

Pada masa itu, justru saat Indonesia mulai melambung sebagai negara demokrasi muda, Munir membuka mata publik: “Reformasi tidak cukup diketuk dengan alat penipu. Harus ada pendamping: mekanisme audit, perlawanan struktural, dan otoritas independen.”

Ia memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perkumpulan Pemantau Keadilan, dan memperjuangkan: 

- Hubungan antara militer dan politik yang tidak transparan  

- Pengabaian terhadap kekerasan terhadap tahanan politik  

- Korupsi praktis di institusi negara

Saat itu, mereka bilang: “Jangan terlalu moralistis, masih banyak yang perlu diperjuangkan selain etika.”  Munir menjawab: “Tanpa etika, perjuangan jadi kejahatan yang dibungkus kebaikan.”

Tapi Kenapa Kita Harus Ingat Sekarang?

Karena korupsi secara budaya sudah jadi gaya hidup. Di antara kerja sama yang ditandatangani oleh kementerian, perusahaan dan pendukung proyek pemerintah, celah kecil yang terbuka menjadi rute pemberian fee tersembunyi. Di level kecil, di demo penolakan proyek, di gugatan kesehatan masyarakat, kecaman sering kali terjadi tapi langkah konkret? Tidak ada.

Dan di tengah kebisingan ini, Munir adalah suara pertama yang mengatakan: perlawanan bukan selalu dengan sumpah serapah. Tapi dengan data, prosedur, dan keberaniannya mengungkap korelasi antar kekuasaan dan kehancuran.

Kita hidup di era spreadsheet, algorithm, dan content strategy tetapi kebanyakan generasi muda belum bisa membedakan antara kebenaran yang utuh dan kebenaran yang diproses dengan algoritma.

Baik itu deepfake, bandwagon politics, atau viral disinformation, semuanya mengorbankan makna: keadilan, keterbukaan, tanggung jawab.

Dan Munir  yang mati karena menuntut kejelasan, yang ditusuk ketika sedang bercerita tentang kewajiban negara atas rakyat, adalah simbol pembela sumber kebenaran di tengah kebisingan.

Pesan yang Harus Kita Wariskan: Integritas Adalah Pemberontakan”

Kita tak perlu kembali ke masa 2004 untuk memahami Munir. Kita hanya perlu memperhatikan hari ini: Anak muda yang ingin melapor korupsi di tempat kerja: dikatakan “terlalu sensitif”, Jurnalis yang meneliti tambang ilegal: dituduh “penggoda marhaen” dan Warga yang menolak proyek eksploitasi sumber daya: disebut “memblokir pembangunan”

Di masa itu, Munir menulis: “Menjadi penentang bukan berarti menolak pembangunan. Tapi mengingatkan bahwa pembangunan yang benar harus berdiri di atas martabat manusia.”

Inilah inti yang perlu kita selamatkan dari legenda Munir: Keadilan bukan hadiah. Ia adalah perjuangan yang terus-menerus. Dan perjuangan itu dimulai dari keberanian berbicara saat orang lain diam.

Mengapa Kita Harus Mengenal Munir?

Karena tanpa mengenalnya, kita kehilangan citra utama generasi yang percaya bahwa kata “kita” masih bisa berarti sesuatu.

Karena tanpa mengenalnya, kita akan terus mengabaikan pengaruh kecil yang bisa mengguncang sistem besar.

Karena tanpa mengenalnya, kita akan terus menuruti arus tanpa tahu, apakah arus itu benar-benar menuju tujuan, atau hanya terus mengalir menuju bawah.

Saat Ini, Kamu Bisa Jadi Sosok Munir Bertahun Depan, bukan karena kamu harus nge-rant di media sosial. Bukan karena kamu harus jadi jurnalis investigasi.

Tapi karena kamu:

- Tidak hanya mengonsumsi berita, tapi mencari sumbernya  

- Tidak hanya ikut trending, tapi tanya: “Siapa yang terabaikan di sini?”

- Tidak hanya mencari solusi cepat, tapi bertanya: “Apa yang sudah kita abaikan sebelumnya?”

Karena kemampuan berempati terhadap tidak adil adalah akar keberanian. Dan di sinilah, Munir tidak mati. Ia hidup dalam setiap anak muda yang menolak diam, yang memilih untuk bertanya, berdebat, dan terus mencari.

Penutup: Jangan Jadi Penonton di Dalam Film yang Sudah Dibuatkan Akhirnya

Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan besar:  

- Akan terus menjadi penonton?  

- Atau berdiri sebagai penulis naskah?

Munir punya jawabannya. Kita tidak akan pernah punya dunia yang adil, jika kita tidak berani meletakkan kebenaran di atas kekuasaan. Karena adil bukan hasil. Ia adalah proses. Dan proses itu dimulai dari seseorang yang berani mengatakan: “Ini salah.”

Kamu tidak perlu menyamai Munir. Cukup jadilah mereka yang memperjuangkan maknanya hari ini. Karena di tengah hiruk-pikuk zaman, murid-muridnya masih tersisa. Mereka yang menyimpan pesan terakhir seorang aktivis!!

"Kita punya hak untuk tidak hanya menikmati demokrasi. Kita juga memiliki kewajiban untuk melindunginya."  - Munir, 2004

—Penulis Mr.Chulleyevo, Weda 2025

0 Komentar