Cogo Ipa : Melestarikan Tradisi Menanamkan Kecintaan Kepada Nabi
Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah, yang dahulu dikenal dengan sebutan Al-Mukkaramah atau Al-Amin, pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah, tepatnya hari Senin, 20 April 571 Masehi. Sebagaimana disebut dalam hadits shahih, kehadiran beliau membawa penyempurnaan akhlak mulia bagi seluruh umat manusia.
Tradisi memperingati kelahiran Nabi, yang dikenal sebagai Maulid Nabi, baru mulai dilaksanakan setelah wafatnya beliau. Catatan sejarah pertama mengenai perayaan Maulid muncul pada abad ke-7 Hijriyah di Irak, ketika Raja Al-Muzhaffar Abu Sa'id Kukbury Ibn Zainuddin Ali Ibn Baktakin dari Irbil mengadakan perayaan besar-besaran dengan mengundang rakyat dan ulama serta menyembelih ribuan kambing dan unta sebagai bentuk syukur. Para ulama saat itu menyetujui kegiatan tersebut sebagai penghormatan yang baik kepada cahaya Islam yang telah menerangi alam semesta ini.
Kini, Maulid Nabi bukan hanya sekadar peringatan keagamaan, melainkan juga telah menjadi hari libur nasional di Indonesia yang dirayakan oleh berbagai elemen masyarakat: pemerintah, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, majelis ta’lim, hingga komunitas kecil di pelosok negeri. Kegiatan peringatan itu beraneka ragam, dari pengajian, diskusi, hingga ritual bermuatan budaya lokal, mencerminkan dimensi keagamaan, sosial, dan kebudayaan yang saling terjalin.
Cogo Ipa: Perayaan Maulid Penuh Makna di Bumi Fagogoru
Di Indonesia bagian Timur, tepatnya di dua kabupaten di Maluku Utara, Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Maulid Nabi dirayakan dengan tradisi unik yang dikenal dengan Cogo Ipa di daerah Weda, Ipa Ce di Patani dan Ta Ipa di Maba.
Ketika pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW bergema, alunan musik rebana mengiringi. Sejumlah pria dengan topeng menakutkanmuncul menari, mengenakan beragam pakaian Islami dari jubah hingga gamis. Tari ini melambangkan persatuan tiga negeri: Weda, Patani, dan Maba. Acara ini rutin dilaksanakan tiga hari menjelang hingga saat Maulid Nabi 12 Rabiul Awal tahun Islam dan senantiasa menarik antusiasme masyarakat meski dijalankan setiap tahun.
Dua Versi Asal-Usul Coko Ipa
Cerita tentang asal-usul Cogo Ipa memiliki dua versi yang mewarnai tradisi ini.
Versi pertama, menurut Zainuddin Jumat, tokoh masyarakat Halmahera Tengah, berkaitan erat dengan sejarah peperangan di abad ke-19. Ketika Kesultanan Tidore mengirim pasukan dari ketiga wilayah tersebut ke Pulau Jawa membantu kerajaan Islam Cireboon yang pada waktu itu hampir mengalami perpecahan dan dalam perlawanan menghadapi Belanda, para prajurit menggunakan topeng yang terbuat dari pelepah sagu dan daun pandan, dilukis dengan arang dan lumpur untuk menciptakan kesan menakutkan. Strategi ini dinamakan "Cogo Ipa" atau 'menyamar' untuk menyembunyikan identitas dan meneror musuh.
Setelah berlayar kembali dari medan perang para pasukan bertopeng ini tiba di daratan Halmahera bertepatan dengan Maulid Nabi mereka pun berjanji untuk bertemu kembali setiap Maulid sebagai tanda silaturahmi antar tiga negeri, dengan tetap memakai topeng mereka masig-masing sebagai simbol perayaan dan pengingat akan keberhasilan tersebut sekaligus berzikir dan berdoa demi negeri mereka.
Kedua dari Sekretaris Kesultanan Tidore, Amin Faaroek, justru menempatkan akar tradisi Tarian Topeng ini pada abad ke-14, jauh sebelum peristiwa perang itu. Ia menyebut Coko Iba berarti ‘setan bergembira’, yang mencerminkan suasana menjelang kelahiran Nabi Muhammad, di mana setan juga dikisahkan ikut ‘berpesta’. Pada tiga hari menjelang Maulid, Cogo Ipa berkeliling desa-desa di Weda, Patani, dan Maba. Mereka memukul dengan rotan orang-orang yang tidak memakai topeng sebagai simbol pengusiran pengaruh buruk hingga puncak peringatan Maulid.
Refleksi dan Makna di Balik Tradisi
Tradisi Cogo Ipa bukan hanya sekadar perayaan; ia juga menjadi cermin dari kekayaan budaya dan sejarah yang mengakar dalam masyarakat Maluku Utara. Dari peperangan hingga perayaan religius, tradisi ini menguatkan ikatan sosial dan spiritual antar komunitas. Manakala alunan rebana mengiringi tarian bertopeng dan doa-doa dipanjatkan, Maulid Nabi di bumi fagogoru bukan sekadar ungkapan sukur dan cinta atas kelahiran Rasul, melainkan juga ekspresi kearifan lokal yang telah melalui Islamisasi tradisi. tentang kebersamaan adalah kunci dari sebuah kekuatan yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.
Pasukan perang fagogoru; Cogo i pa (Bukan Dia) biasanya berfungsi sebagai klausa negasi atau kalimat negatif sederhana yang menyatakan penolakan atau menyangkal sesuatu terkait subjek "Pasukan Perang" yang telah berhasil melawan Belanda di tanah Islam Cirebon.
“Dengan terus hidupnya tradisi ini, masyarakat Fagogoru menunjukan kerendahan hati. Karena sebuah kemenangan akan diraih dengan persatuan dan sebuah kehebatan hanya milik sang pencipta”
0 Komentar