Dinamika DOB Sofifi: Suara Prihatin Pemuda Desa Galala di Tengah Bentrokan Adat


SOFIFI — Demonstrasi damai yang berujung bentrokan pada tanggal 23 Juli kemarin di Sofifi, Maluku Utara, menghadirkan dialog yang penuh dinamika dalam wacana Daerah Otonomi Baru (DOB). Masyarakat Tidore yang mengenakan pakaian adat Kesultanan Tidore tampak tegas mempertahankan wilayah Sofifi sebagai warisan budaya dan sejarah yang tak bisa dilepaskan begitu saja.

Di tengah riuhnya aksi tersebut, Meyrwan N. Alting pemuda dari Desa Galala, menyampaikan rasa prihatinnya secara terbuka atas insiden yang terjadi, bahwa persoalan ini bukan hanya sekadar soal wilayah administrasi, melainkan juga soal akar sejarah dan persaudaraan antarmasyarakat yang saling melekat.

"Apa yang terjadi di Sofifi kemarin seharusnya tidak terjadi,"ujarnya dengan nada haru dan tegas. "Masyarakat yang ada di daratan Oba, terutama Sofifi, adalah masyarakat Pulau Tidore yang sudah beranak pinak di daratan Halmahera selama puluhan tahun." Ujar lelaki dengan sapaan akrab Koce Iwan ini.

Koce menegaskan pentingnya menjaga harmoni dan budaya leluhur sambil mencari solusi terbaik untuk masa depan Sofifi. "Mari torang sama-sama utamakan perundingan agar menemukan jalan keluar yang terbaik untuk Sofifi sebagai ibu kota provinsi, tanpa melupakan histori negerinya para raja-raja," lanjut Koce.

Dalam konteks solusi administratif, model otonomi khusus menjadi salah satu jalan tengah yang dianggap potensial. Sofifi dapat tetap berstatus sebagai kecamatan, namun sekaligus menjadi tempat kedudukan ibu kota provinsi Maluku Utara dengan penguatan fungsi tata kelola pemerintahan di wilayah tersebut. Pola ini diharapkan dapat menjaga nilai historis dan identitas budaya sekaligus mempercepat pembangunan inklusif.

Penetapan Sofifi sebagai pusat pemerintahan melalui mekanisme otonomi khusus juga membuka peluang pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik yang lebih efektif tanpa mengubah batas administratif yang sudah punya nilai sejarah serta sosial yang mendalam.

Kasus ini bukan sekadar persoalan birokrasi, tetapi ujian kebijaksanaan dan keteguhan dalam menjaga nilai budaya sepanjang proses pembangunan daerah. Sikap terbuka dari berbagai pihak dan semangat berdialog menjadi harapan utama agar dinamika ini dapat diselesaikan dengan damai dan bermartabat. (Red)

Editor : Mr.c

0 Komentar