ASN Halteng Ramai-Ramai Kuliah S2: Gelar atau Kinerja?

 

Fenomena Aparatur Sipil Negara (ASN) Halmahera Tengah berbondong-bondong melanjutkan studi S2 lewat program beasiswa Pemda memang layak mendapat perhatian publik. Di satu sisi, langkah ini tampak progresif: pemerintah daerah berinvestasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia birokrasi. Namun di sisi lain, ada pertanyaan krusial yang tak boleh dihindari: apakah gelar magister yang kelak disandang ASN benar-benar berbanding lurus dengan kinerja dan kualitas pelayanan publik?

Kita perlu realistis. Sejarah birokrasi di banyak daerah, termasuk Halteng, menunjukkan kecenderungan yang kuat pada budaya simbolik—gelar akademik dijadikan ukuran prestise, bukan tolok ukur kontribusi. Tak jarang ASN yang pulang dengan titel S2 kembali tenggelam dalam rutinitas lama, tanpa inovasi, tanpa perubahan cara kerja, tanpa gagasan baru yang menyentuh kepentingan rakyat. Jika pola itu berulang, beasiswa justru akan melahirkan generasi birokrat “bergelar tinggi tapi berkinerja rendah.”

Padahal, visi besar Bupati dan Wakil Bupati Halteng, “Transformasi Nilai Fagogoru: Menuju Halmahera Tengah Sejahtera, Mandiri, dan Maju”, menuntut lebih dari sekadar simbol. Transformasi membutuhkan birokrasi yang profesional, kritis, dan adaptif. ASN ber-S2 seharusnya hadir dengan analisis kebijakan yang tajam, kemampuan merumuskan strategi pembangunan yang visioner, serta keberanian merombak pola pikir birokrasi yang stagnan. Jika hanya berhenti pada kebanggaan personal, visi tersebut akan terjebak dalam retorika tanpa ruh.

Lebih jauh, ada tanggung jawab moral yang melekat dalam program beasiswa ini. Anggaran daerah yang digunakan adalah uang rakyat, bukan investasi pribadi. Artinya, setiap rupiah yang digelontorkan harus kembali dalam bentuk pelayanan yang lebih cepat, transparan, dan berkualitas. Jika output-nya sekadar gelar akademik tanpa kontribusi nyata, maka program ini bukan investasi, melainkan pemborosan.

Belum lagi, para ASN Halteng sudah dimanjakan dengan Tunjangan Tambahan Penghasilan (TTP) tertinggi di Maluku Utara. Artinya, secara finansial mereka telah mendapatkan apresiasi jauh di atas ASN kabupaten/kota lain di provinsi ini. Dengan fasilitas sebesar itu, seharusnya kinerja yang ditunjukkan juga melampaui standar. Jika setelah disekolahkan S2 dan digaji dengan TTP tertinggi, kinerja birokrasi tetap jalan di tempat, maka publik berhak bertanya: untuk siapa semua fasilitas ini diberikan? Untuk rakyat atau sekadar memanjakan elite birokrasi?

Oleh karena itu, Pemda tak boleh sekadar berperan sebagai “penyandang dana.” Harus ada mekanisme evaluasi ketat: Apa dampak nyata dari studi lanjutan ini? Apakah lulusan S2 menghadirkan inovasi kebijakan, membangun sistem pelayanan publik yang lebih efisien, ataukah justru sekadar menambah daftar panjang ASN dengan titel baru? Tanpa instrumen evaluasi, beasiswa hanya akan memperkuat mental seremonial birokrasi.

Halmahera Tengah saat ini berada di persimpangan: antara menjadi daerah yang benar-benar bertransformasi atau terjebak dalam siklus birokrasi simbolik. Yang dibutuhkan bukan birokrat yang sibuk mengoleksi gelar, melainkan birokrat yang otaknya tajam, tangannya cekatan, dan hatinya berpihak pada rakyat. Gelar S2 hanyalah alat; nilai sejatinya terletak pada sejauh mana ilmu itu diterjemahkan dalam kebijakan dan tindakan nyata.

Jika tidak, “Transformasi Nilai Fagogoru” hanya akan tinggal sebagai slogan megah yang tak pernah menyentuh realitas warga Halteng.

— Penulis Engkez

0 Komentar