Membaca Gelombang Kemarahan Rakyat: Lalu, Selanjutnya Apa?

 

SEORANG teman bertanya, “Ini nanti akan seperti apa?’’ Saya bilang tidak tahu. Dan saya yakin tidak seorang pun yang akan tahu akhirnya seperti apa. ’’Harusnya, yang di atas bisa dengan cepat mengatasinya. Ini massa pasti ada yang menggerakkan. Ada yang memainkan,’’ desak teman saya. 

Teman saya tidak sepenuhnya salah. Memang ada beberapa massa yang datang karena digerakkan. Misalnya, ada seratusan orang dari Jakarta Utara yang datang untuk dijanjikan dapat uang Rp 60 ribu dan nasi kotak ketika tiba di Gedung DPR. Ada juga saksi yang menyebut bahwa ada massa drop-dropan naik truk. Memang ada yang seperti itu, namun jumlahnya tidak seberapa. Inti massa demo kali ini berbeda. Kalau pun ada massa seperti itu, bisa jadi itu merupakan massa yang digerakkan oleh kelompok yang mempunyai kepentingan untuk memperkeruh suasana. Tapi, sekali lagi, ini adalah demo yang berbeda. 

Sudah lama para elit negeri ini mempunyai pemikiran bahwa tiap demo ada yang menggerakkan. Sehingga ketika pentolan-pentolannya ditangkapi, maka bisa dihadapi. Ini bisa merujuk pada demo 2019 lalu, ketika disinyalir kelompok pro Prabowo hendak menggelar aksi ketika dinyatakan kalah dalam pilpres. Sekelompok orang ditangkap termasuk Ahmad Dhani, kemudian Rizieq Shihab tersandung masalah asusila dan kemudian kabur yang membuat FPI (pendukung Prabowo saat itu) praktis bagai anak ayam kehilangan induk. Meski tetap saja terjadi aksi demo menolak kekalahan, tapi itu bisa diselesaikan. 

Tapi, kali ini massa aksinya berbeda. Tak peduli seberapa banyak aktivis/penggerak ditangkap (di Jakarta saja konon ada 400 orang), tapi tetap saja massa terus berdatangan. Tak ada pemimpin tunggal. Misalkan ada elit pemerintah yang ingin meredakan dan hendak “mengganti” uang transportasi mereka, itu pun juga sulit. Karena mau dikasihkan ke siapa? Didistribusikan ke mana? Sudahi pemikiran bahwa aksi demo kali ini ada yang menggerakkan. Bahwa ada yang menunggangi mungkin iya, tapi kalau menggerakkan, tidak ada. Sudahi pemikiran bahwa demonstrasi kali ini ada dalang besarnya. Ini murni ekspresi kemarahan masyarakat. 

***

SEMUA telah berbalik di Indonesia. Pernyataan maaf Kapolri tidak juga meredakan amarah. Pidato Presiden tidak berhasil pula menenangkan massa. Bahkan, setelah Sri Sultan HB X berbalik usai berdialog dengan massa di Mapolda DIY, massa terus bentrok dengan petugas keamanan hingga Subuh. Permintaan maaf Ketua DPR RI Puan Maharani tidak dihiraukan. Dedi Mulyadi, gubernur yang populis, malah dilempari ketika hendak berdialog dengan massa.  

Pos-pos polisi di sepanjang jalan protokol di Surabaya terbakar. Gedung DPRD di Sulawesi Selatan rata dengan tanah, dan satu orang tewas terpanggang di sana. Di Bandung, kompleks perumahan MPR membara. Di sejumlah tempat lainnya, massa bahkan langsung mengepung kantor polisi. Seolah tak takut apa pun lagi. Sejumlah fasilitas publik ikut hangus, seperti halte trans Jakarta di Senen dan stasiun MRT di Senayan. Mako Polrestro Jakarta Timur pun luluh lantak berikut sejumlah kantor Polsek. 

Ini menjadi pertanda kuat bahwa kejengkelan masyarakat terhadap elit negeri ini sudah di ubun-ubun. Mereka sudah tidak mempercayai lagi para pemimpinnya. Coba, lihat saja sejumlah aksi sporadis yang muncul. Khususnya di Markas Brimob di Kwitang dan kantor polisi. Mereka melakukan aksi tanpa tuntutan yang jelas (kecuali yang dikoordinir kelompok mahasiswa atau kelompok terorganisir lainnya). Asal datang, marah-marah, lempar-lempar. Semacam pelampiasan kekecewaan. 

Atau demo pada 28 Agustus yang berujung tewasnya Affan Kurniawan yang dilindas mobil rantis Brimob. Yang awalnya dimulai oleh kelompok buruh. Namun, ketika kelompok buruh sudah membubarkan diri sore harinya, massa yang berada di lokasi unjuk rasa tak kunjung surut. Bahkan, malah bertambah. Yang celakanya pada malam itu tak ada satu pun elit negeri ini, entah itu anggota DPR yang didemo atau pun pejabat negara seperti Menkopolhukam sebagai menteri yang paling bertanggungjawab, yang mendatangi massa, berdialog, menyuruh mundur aparat dan masyarakat. 

Sebuah fenomena yang menjalar di daerah lain. Lihat saja di Surabaya. Eskalasi begitu cepat terjadi, di mana sepanjang jalan protokol pos polisi dihancurkan. Atau di Makassar yang tak sampai sehari sudah membumihanguskan gedung DPRD. 

Ini adalah massa yang marah. Yang tiap hari struggling untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dikejar-kejar pinjol gara-gara kesulitan bayar uang sekolah anak, yang selalu cemas setiap harinya di mana meski cukup untuk sehari-hari, namun ketika ada yang sakit langsung jatuh miskin. Sementara, para elit berbagi kue kekuasaan secara vulgar. Anggota DPR yang aslinya wakil parpol, bukan wakil rakyat, mendapat gaji dan tunjangan begitu besar. Belum peluang untuk mendapat kue proyek pemerintah. Sementara, manfaatnya tidak dirasakan sama sekali oleh rakyat. Kemudian melihat pula bagaimana Presiden Prabowo Subianto seolah hidup dalam bubble-nya sendiri, tata kelola negara yang ancur-ancuran, menyulap data ekonomi seolah-olah bagus padahal sudah lebih dari 60 persen orang bekerja itu di sektor informal (jual es teh, ojol, atau UMKM kecil lainnya yang tanpa proteksi apa-apa). Memaksakan program MBG, yang sama sekali tidak menimbulkan daya ungkit ekonomi dan ternyata banyak masalah seperti kasus keracunan, koperasi merah putih yang 90 persen akan menimbulkan masalah keuangan di kemudian hari. 

Yang paling meresahkan masyarakat adalah soal rencana Sri Mulyani untuk terus mengutip pajak dari rakyatnya. Mengurangi subsidi dan bahkan menaikkan iuran BPJS per tahun depan. Sudah ekonomi sulit, rakyat dipaksa untuk membiayai kehidupan mewah anggota DPR dan pejabat negara. Selain itu, amanah kekuasaan yang diberikan hanya menguntungkan segelintir oligarkhi pula. 

Rentetan masalah ini yang kemudian menimbulkan gelombang aksi, bukan hanya masalah keamanan belaka. Atau sesuatu yang bisa diatasi oleh TNI-Polri saja. Namun, ini adalah sesuatu yang harus diatasi oleh pemerintah dalam artian yang luas. Masalah ini tak akan selesai dengan mengganti Kapolri dan Panglima TNI saja. Namun, harus lebih mendasar. Daftar tuntutan yang bisa diteriakkan bisa seperti yang ada di bawah.

Diantaranya pemerintah harus menurunkan pajak, kalau perlu menghilangkan sejumlah pajang. Memotong gaji/tunjangan pejabat negara/direktur BUMN/Komisaris BUMN. Anda bisa cari tahu sendiri berapa gaji direktur/komisaris di PLN atau Pertamina, dua BUMN besar yang mengaku masih rugi itu (dan akan bertanya-tanya, kalau perusahaan rugi kenapa gaji dan tantiemnya kok sebesar itu). Melakukan reshuffle dan penggantian besar-besaran sejumlah pejabat negara. Menghapus program tak jelas seperti MBG dan koperasi merah putih, dan mengalihkan anggarannya ke hal yang lain dan lebih berguna. Setidaknya, pemerintah memberi akses pendidikan dan kesehatan murah kepada warganya. 

Dan yang paling mendasar, berani tidak Presiden memotong lengan oligarkhi politiknya sendiri. Misalnya, dengan membuat revisi UU pemilu dan UU Parpol. Membatasi masa jabatan anggota DPR, memotong gaji dan tunjangannya, pemecatan terhadap sosok seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan nama-nama lainnya yang kontroversial, membuat parpol lebih bisa diaudit oleh masyarakat, dan menghilangkan penguasaan seseorang/dinasti di sebuah parpol. Ini yang paling penting, dan sekaligus yang bisa menunjukkan kesungguhan Prabowo menjawab tuntutan aksi. 

Saya selalu yakin dengan argumentasi David Hume, bahwa kekuasaan tertinggi itu selalu berada pada yang diperintah. Dan legitimasi itu selalu berdasarkan persepsi. Sekarang ini, Prabowo kehilangan legitimasinya. Dan tak tanggung-tanggung, berikut dengan semua perangkat dan aparatnya, termasuk kepala daerahnya. 

Jika dia tak melakukan konsesi besar, maka ya situasi akan terus-menerus seperti ini. Arogansi kekuasaan akan melahirkan kemarahan. Sekarang tinggal bagaimana Prabowo bisa memahami arogansi kekuasaan dia dan kubunya, dan kemudian memperbaikinya sehingga bisa diterima masyarakat. 

***

“Terus, kemudian nanti seperti apa?’’ tanya teman saya, lagi. Saya mengangkat bahu. ’’Ada sejumlah kemungkinan yang mungkin terjadi. Bisa saja, masyarakat kehabisan energi dan demo berhenti begitu saja. Ini yang diharapkan oleh pemerintah saat ini,’’ papar saya. ’’Tapi, ada juga kemungkinan eskalasi lebih besar, jika masyarakat tak melihat ada tanda-tanda perubahan atau perbaikan yang dilakukan. Entah sampai sebesar apa eskalasinya. Tak ada yang tahu,’’ tambah saya. 

’’Demo tanpa tuntutan yang terjadi kali ini, sebenarnya bukan berarti ketiadaan tuntutan. Tapi, ini pelampiasan emosi atas sesuatu yang jelas “hey, pem, pemerintah. Lu bisa kerja yang bener gak? Yang gak menyengsarakan rakyatnya? Ini kami semua sudah menahan diri, tapi lu terus-terusin ngawur”,’’ kata saya. Demo yang dilakukan sama seperti bilang: “hey, lu tuh kerja yang bener, bangsat.” Sesuatu yang saya sendiri tak yakin apakah elit itu sendiri mengerti telah mempraktekkan arogansi kekuasaan seperti apa. Dan itu yang akan menambah rumit.

Variabel demonstrasi kali ini terlalu banyak untuk bisa diramalkan seperti apa akhirnya. Namun, satu hal telah pasti: para elit dibuat mengerti bahwa siapa bos sesungguhnya di republik ini. Bahwa orang seperti politisi PDIP Dedi Sitorus yang membedakan rakyat biasa dengan rakyat high end kayak dirinya harus punah setelahnya. Legitimasi kekuasaan mereka bisa diambil kapan saja ketika mereka tak becus lagi memimpin dan menyengsarakan rakyatnya. (*)

0 Komentar