Dari Jakarta ke Halmahera: Dua Kegagalan, Satu Kepercayaan DPR yang Hilang

 

Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi rakyat di depan gedung yang seharusnya menjadi simbol perwakilan, sebuah mobil dinas, bukan mobil biasa. Sebuah kendaraan taktis milik Brimob, tanpa henti melaju ke arah kerumunan. Satu detik. Satu nyawa. Seorang ojek online bernama Affan Kurniawan (21 tahun), tewas terlindas. Tidak ada malaikat yang datang. Hanya suara teriakan, rekaman video yang mengguncang Jawa, dan pertanyaan yang menggema: "Siapa yang seharusnya melindungi rakyat?"

Korban Tewas: Affan, bukan Sekadar Angka dalam Kasus

Insiden tragis terjadi pada hari Kamis, 28 Agustus 2025, di depan Gedung DPR RI. Saat kerumunan massa yang awalnya datang untuk aksi protes tunjangan DPR yang fantastik kemewahan ala firaun, yang lupa posisi mereka sebagai wakil rakyat, beberapa petugas Brimob mengambil alih kendali dengan pelibatan kendaraan taktis. Tidak ada pernyataan penjelasan yang disampaikan tepat waktu.

Namun, dalam gelapnya malam, sebuah mobil taktis melaju secara tiba-tiba, menghantam dan menyeret seorang ojek online yang sedang berada di tengah keramaian. Affan Kurniawan, 21 tahun, diketahui merupakan lulusan SMK dari Cianjur dan bekerja sebagai ojol sejak 2024 demi membantu biaya sekolah adiknya di Jawa Timur.

Ia bukan penjahat. Bukan provokator. Ia hanya ingin mencari nafkah, dan menjadi bagian dari gerakan rakyat kecil yang menuntut keadilan. Tapi di tengah rentetan aksi, ia menjadi korban. Video rekaman memperlihatkan ia sempat menatap ke arah mobil, seolah mengerti bahaya. Lalu tidak ada waktu lagi.

Reaksi Publik: Maaf Itu Terlambat, Tapi Perlu Pemimpin yang Bertanggung Jawab

Terhadap insiden ini, Istana Kepresidenan dan Kapolri mengecam tindakan yang dianggap berlebihan, dan menyampaikan permintaan maaf publik. Dalam pernyataan resminya, Kapolri mengatakan bahwa insiden tersebut “tidak sesuai dengan prinsip kepolisian yang humanis dan profesional”, dan bahwa penyelidikan telah dimulai.

Namun, permintaan maaf sungguh memilukan tiba setelah satu hari, saat video viral menyebar. Saat rakyat melihat kekalahan dan kematian dalam bentuk yang tak bisa dikembalikan. Media sosial memenuhi tagar #BersihkanPolisiBuruk, #JagaOjol, dan #SegeraSelidikiAffan. Banyak warga yang mengecam proses kepolisian yang “seolah tak peduli sampai korban tewas”. Muncul tuntutan: bukan hanya investigasi, tapi juga penurunan jabatan pimpinan yang terlibat.

"Kami tidak butuh maaf surat, tapi pemimpin yang bertanggung jawab," tulis seorang netizen di Twitter.

Dari Kejatuhan ke Dalam Keheningan: Upaya Unjuk Rasa Membesar

Belakangan, mulai muncul ajakan untuk mengadakan unjuk rasa besar-besaran di depan Markas Besar Polri dan Gedung DPR RI pada minggu depan, dengan membawa bunga dan foto Affan. Aksi ini tidak hanya memprotes kekerasan, tapi juga melawan budaya “tutup mata” atas pelanggaran keadilan yang terjadi di bawah pelindung hukum. Kini, justru tangan-tangan negara, yang seharusnya menjadi alat perlindungan, menjadi sumber ketakutan.

Halmahera Tengah: 20 Dewan, 0 Kebijakan. Robin Hutan yang Tak Tahu Kepulauan

Lepaskan sejenak perhatian dari Jakarta. Saatnya menatap ke timur: Halmahera Tengah, daerah yang kaya akan sumber daya alam namun eksistensinya sering diabaikan, memiliki 20 anggota DPRD terpilih pada periode 2024–2029.

Namun, setelah pelantikan hingga kini, tidak ada satu pun program pembangunan nyata yang diluncurkan. Tidak ada pablis media tentang musrenbang yang tercatat bersentuhan langusng kebutuhan rakyat. Tidak ada kunjungan ke desa terpencil. Tidak ada solusi untuk masalah air bersih, infrastruktur jalan, atau solusi tentag buruh yang dominan di Halmahera Tengah.

Justru, media lokal melaporkan: dua puluh angggota dewan lebih memilih medikal check up di jakarta dari pada di RSUD Weda, dengan alasan keterbatasan pelengkapan rumah sakit.

Padahal, wilayah ini punya kerawanan pangan, polusi air, dan kualitas pendidikan yang rendah. Sudah berapa kali teror OTK terjadi terhadap petani saat beraktifitas di kebun, Petani juga kesulitan menyalurkan hasil panen karena jalan rusak dan minimnya trobosan yang menyembatani kepetingan petani.

Sementara itu, pablik bisa menilai dari akun-akun media sosial dua puluh anggota DPRD Halmahera Tengah, tak satupun yang mencoba memberikan pendidikan politik atau pun sekedar penjelasan kerja-kerja kongkrit mereka tentang kepentingan rakyat sama sekali. Kalau tidak serimoni foto-foto yang di tampilkan ke publik, pasti tentang jalan-jalan ke jakarta maupun di pelataran hotel-hotel mewah yang kosong makna untuk rakyat.

Dua Kecelakaan, Satu Kebenaran: Kepemimpinan yang Lelah, Bukan Rakyat yang Tidak Berhak

Dua kasus ini tidak terjadi di tempat yang sama. Tapi keduanya menyiratkan kegagalan fundamental sistem perwakilan: keterputusan antara wakil dan rakyat.

Kejadian mobil rantis menabrak ojol di depan gedung DPR menegaskan bahwa penegakan hukum dan keamanan publik masih berada pada ambang kegagalan prosedural. Di sisi lain, DPRD di Halmahera Tengah memperlihatkan kinerja yang jauh di bawah standar sebagaimana seharusnya menjadi garda legislatif daerah. Kedua isu ini saling berhubungan: bila satu pilar penegakan hukum lemah, kepercayaan publik pada lembaga‑lembaga demokratis lainnya ikut menurun. (*)

0 Komentar