Halmahera Tengah: Kolonial Plastik Di Tanah Merdeka
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Usia kemerdekaan yang bukan hanya angka catatan sejarah, melainkan lika-liku panjang bangsa yang telah melewati gelombang perjuangan yang terjal. Kita boleh saja turut menyemarakkan perayaan kemerdekaan dengan joget tabola-bale milik silent open up yang kemarin berlangsung meriah di Istana Negara. Atau memilih aksi upacara bendera didalam laut dengan kostum mermaid seperti yang diperlihatkan oleh Gubernur Maluku Utara, Serly Tjoanda.
Tapi ada benarnya juga, kemerdekaan kita hanya sebatas melihat kolonial tabola-bale (bolak-balik) dan menjarah kita mulai dari laut, pesisir, dan sungai. Mermaid yang biasanya berenang bebas dan jernih di laut, serta memiliki pesisir yang bersih, kini tidak lagi. Semua area itu telah direbut dan diambil paksa oleh kolonialisme baru yang datang bukan dengan kapal perang, mobil tank, dan senjata, melainkan dengan kantong kresek, botol air mineral, dan bungkusan mie instan.
Kolonialisme baru itu namanya kolonial plastik, mereka memilih gaya perang yang sunyi dan tak kasat mata, tapi kemampuan menginvasi sampai ke semua markas vital seperti pasar, rumah, sekolah, selokan dan ruas jalan. Mereka berbahaya bagi lingkungan, karena butuh ratusan tahun untuk hancur, dan memiliki zat kimia yang bisa meresap ke tanah dan mencemari sumber air.
Di Halmahera Tengah, camp kolonial plastik ada di ruas jalan lukulamo-lelilef sampai sagea, lalu melebarkan wilayah penaklukannya ke ruas jalan wairoro dan kota weda, sampai juga ke Patani dan Gebe. Mereka berhasil mendigte dan menancapkan cengkeramanya lewat gaya hidup instan, ekonomi pasar, dan minimnya kesadaran kolektif.
Di pasar, plastik sekali pakai adalah ‘’ mata uang kedua ‘’ yang tak pernah habis. Setiap belanja, setiap transaksi, selalu ada plastik baru yang pulang bersama kita. Ia tidak terlihat sebagai musuh, malah dianggap teman karena praktis dan murah. Parahnya lagi, perilaku membuang sampah sembarangan masih tetap dianggap hal sepeleh, Ini sebenarnya paket lengkap bom waktu ekologis yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Dari data Goodstats (2024) menemukan ada 26,6% masyarakat Indonesia mengaku pernah membuang sampah sembarangan di tempat umum, dan 25% lainnya melakukannya di sekitar rumah. Ini masalah serius dan bukan teknis semata, ini soal mentalitas yang belum berubah.
Membiasakan “dumping plastik sembarangan” ini semakin memperkuat kedigdayaan kolonial plastik. Bayangkan saja, 42,9% responden hanya membuang sampah pada tempatnya tergantung situasi, sementara 7% jarang dan 1,2% bahkan tidak pernah membuang pada tempatnya sama sekali. kita sedang melihat wajah terang perilaku kolektif yang membuat kolonial plastik gampang bertahan.
Jika kita turun langsung ke lapangan, wajah kolonial plastik di Halmahera Tengah ternyata tidak seragam. Mereka punya medan dan pola serangan masing-masing bergantung pada siapa “kaki tangan koloni plastik” yang tanpa sadar jadi penyokongnya.
Di ruas jalan Lelilef–Lukolamo–Sagea, misalnya, tumpukan plastik menyeruak begitu saja di sisi jalan. Dari kantong kresek, botol air mineral, hingga kemasan instan semua berceceran tanpa tedeng aling-aling.
Setelah ditelusuri, sumber utama timbulan ini justru datang dari perilaku karyawan tambang nikel PT IWIP yang setiap hari melintas. Sampah ditinggalkan begitu saja di jalan raya yang mestinya jadi nadi penghubung antarwilayah. Ironis, jalan yang seharusnya jadi simbol pembangunan, justru jadi halaman depan kolonial plastik.
Berbeda lagi dengan Patani dan Gebe. Di sana, tren membuang sampah ke laut masih sangat tinggi. Plastik sekali pakai yang dibawa dari rumah, pasar, kantor dan sekolah harus berakhir di laut biru yang dulu jadi kebanggaan. Gelombang laut yang mestinya memantulkan kebersihan, kini jadi arus yang menyeret plastik ke pesisir. Kolonial plastik di sini mengambil bentuk paling muram, merampas laut dari identitas masyarakat pesisir.
Sementara di Kota Weda dan Wairoro, wajah kolonial plastik menjelma melalui TPS liar. Tumpukan sampah tanpa pengelolaan terlihat di pinggir jalan, kebun, bahkan dekat pemukiman. TPS liar ini bukan sekadar tempat pembuangan, tapi juga simbol ketidakberdayaan kolektif dalam mengatur sampah. Tidak ada kesepakatan bersama, tidak ada penegakan norma hanya kompromi sunyi yang seolah berkata: “biarkan saja di situ.”
Pemerintah tentu punya peran penting untuk memutus cengkeraman kolonial plastik. Regulasi yang tegas tapi kontekstual harus lahir, bukan sekadar larangan, melainkan aturan yang memberi alternatif. Pasar tradisional, misalnya, bisa diarahkan memakai wadah anyaman atau kantong kain.
Infrastruktur persampahan juga mesti disiapkan dan difungsikan, contohnya tiga belas TPS 3R yang tersebar sepuluh kecamatan sampai saat ini hanya menjadi sampah bangunan karena tidak ada aktivitas. Namun, kebijakan saja tak cukup. Pemerintah perlu menggandeng perusahaan besar seperti PT IWIP agar mengelola sampah karyawan secara serius, termasuk mendukung desa sekitar. Kampanye edukasi pun harus menyentuh emosi: khutbah Jumat tentang laut bersih, sekolah bebas plastik, hingga sanksi sosial bagi yang masih abai.
Merdeka dari plastik hanya bisa tercapai bila daerah hadir, tapi juga ketika kesadaran kolektif tumbuh di tengah masyarakat. Tanpa keduanya, kemerdekaan kita akan tetap dipenjara kantong kresek dan botol sekali pakai.
Penulis adalah Pegiat Komunitas Biblel (Bersama Insan Bijak Lestarikan Ekosistem Lingkungan) Halmahera Tengah
0 Komentar