Tersenyum di Pelaminan, Menyimpan Mayat di Kamar; Psikopat Itu Bernama Hanafi
“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑘𝑒𝑔𝑒𝑙𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑤𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑔𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔; 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢𝑛𝑦𝑖 𝑑𝑖 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑘𝑎𝑝 𝑠𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛. 𝐷𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑠𝑖𝑘𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖 𝑚𝑜𝑟𝑎𝑙, 𝑘𝑒𝑗𝑎ℎ𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛, 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑔𝑎𝑔𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑒𝑡𝑖𝑠 𝑑𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑑𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ. 𝐷𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑔𝑎𝑔𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢𝑙𝑎ℎ, 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 𝑘𝑒𝑘𝑒𝑗𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ 𝑎𝑚𝑎𝑟𝑎ℎ, ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑛𝑖𝑎𝑡, 𝑛𝑎𝑙𝑎𝑟, 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑛𝑢ℎ.” 𝐴𝑏𝑖 𝑆𝑎𝑚𝑑𝑖
WEREINFO - Foto itu akan menyapa lebih dulu. Tatapan kosong yang tak menyimpan penyesalan, wajah datar tanpa konflik batin, rambut tersisir rapi, pakaian bersih, dan sorot mata yang tak menunjukkan beban. Tidak murung, tidak gelisah, hanya tenang. Terlalu tenang. Sekilas, ia bisa jadi siapa saja: pegawai biasa, tetangga sebelah rumah, teman satu meja kantor. Tapi nama yang melekat padanya kini telah berubah menjadi kutukan: Hanafi, lelaki muda 27 tahun, mantan pegawai BPS Halmahera Timur yang kini menjadi terdakwa pembunuhan sadis terhadap rekan sekantornya sendiri, Karya Listyanti Pertiwi alias Tiwi, perempuan 30 tahun yang datang dari Magelang untuk mengabdi di tanah jauh ini dan malah menemui ajal dengan cara yang nyaris tak masuk akal.
Di foto yang beredar, wajah Hanafi tampak biasa saja. Tapi ketika semua potongan kejadian dikumpulkan, ketika kronologi dijahit menjadi satu lembar penuh kekejian, maka wajah itu berubah menjadi simbol kegelapan yang tak bisa dimaafkan oleh logika maupun rasa. Ia bukan sekadar pelaku. Ia adalah gambaran nyata dari sosok yang menyimpan dua kehidupan dalam satu tubuh: satu sebagai pegawai teladan, satu lagi sebagai psikopat yang dingin dan kejam.
Tiwi terakhir terlihat pada pertengahan Juli. Ia mengambil cuti dari tanggal 21 hingga 25. Setelah itu, hening. Tidak ada kabar. Tidak ada jejak. Rekan-rekannya mulai gelisah, namun tetap berharap. Mungkin sinyal susah. Mungkin ia memperpanjang cuti. Tapi waktu terus berjalan. Hingga akhirnya pada Kamis, 31 Juli, kekhawatiran itu menemukan jawaban paling mengerikan.
Rumah dinas BPS yang ia tinggali di Desa Soagimalaha, Kota Maba, dikunjungi beberapa pegawai dan satpam atas izin pimpinan dan keluarga. Rumah terkunci rapat. Tak ada suara. Jendela dibuka paksa. Dan seketika, bau busuk menyengat menyambut mereka. Di dalam kamar, tubuh Tiwi ditemukan membusuk, terbujur telentang di atas kasur. Dunia runtuh bagi mereka yang mengenalnya. Tiwi sudah tiada. Tapi lebih dari itu, ia dibunuh. Dan bukan oleh orang asing.
Polisi bergerak cepat. Investigasi dilakukan. Satu nama muncul: AH alias Hanafi. Pria itu sempat menghilang selama beberapa hari. Namun pada malam 4 Agustus, ia menyerahkan diri ke Polda Maluku Utara. Ia mengaku resah. Tapi siapa yang tahu pasti? Seorang yang bisa menyimpan mayat dan tetap menikah dengan gadis pujaannya delapan hari setelah membunuh, barangkali bukan sekadar resah. Barangkali ia hanya sedang kehabisan cara untuk berbohong lagi.
Tiwi, Hanafi, dan A istrinya kini, semuanya pegawai di tempat yang sama. Bahkan, Tiwi dan A tinggal serumah dinas. Tiga nama itu mengisi satu atap, satu institusi, satu dunia kerja. Tak pernah ada yang mengira bahwa di antara hubungan profesional itu, ada bara kejahatan yang sedang disulut.
Pengakuan Hanafi menjadi pintu pembuka pada malam paling gelap dalam hidup Tiwi. Ia mengaku terlilit utang akibat kecanduan judi online. Pada 16 Juli, ia muncul tiba-tiba di Maba, memalsukan cerita kepada tunangannya bahwa ia kecelakaan dan dirawat di puskesmas. Kepada A, ia minta datang ke Maba, namun dengan maksud yang tidak dijelaskan. Hari itu juga, ia bertemu Tiwi di jalan. Ia memohon pinjaman uang Rp30 juta. Tiwi menolak dengan sopan. Tapi bagi Hanafi, penolakan itu adalah hukuman yang tak bisa ia terima.
Sejak 17 Juli, ia menyusup masuk ke rumah dinas. Ia sembunyi di kamar calon istrinya, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia mengintai. Ia memperhatikan setiap rutinitas Tiwi. Lalu pada 19 Juli, saat pagi masih buta, ia menyerang.
Aksi itu bukan sekadar pembunuhan. Itu penyiksaan. Ia membekap Tiwi, mengikat tangannya, memaksa melakukan oral seks. Ia kemudian memaksa korban membuka ponsel dan aplikasi Jenius miliknya. Di dalamnya, ada tabungan Rp38 juta. Uang itu ditransfer ke Gopay, lalu ke rekening Hanafi. Uang itu digunakan untuk membayar utang. Tapi belum cukup. Ia masih butuh lebih.
Setelah itu, ia membungkam mulut korban dengan lakban, lalu menekan wajahnya dengan bantal dan lutut. Tiwi melawan. Ia kejang. Tapi Hanafi bertahan. Ia tunggu sampai tubuh itu lemas. Ia lalu mengakses Google, mencari tahu tanda-tanda orang yang baru saja mati. Dan setelah memastikan kematian itu nyata, ia duduk di dalam kamar, bersama mayat, hingga Magrib. Ia menyempatkan diri bermain judi online lagi.
Pada 25 Juli, ia menggunakan HP korban untuk mengajukan pinjaman online sebesar Rp50 juta. Ia juga mengambil uang tunai Rp400 ribu dari kamar, serta dua unit ponsel. Total uang yang ia ambil dari korban: Rp89 juta. Sebelum pergi ke Ternate, ia membuang dua HP korban di Ngade, kepala charger di laut, dan kabelnya di dekat Masjid Al-Munawwar. Lalu, pada 27 Juli, ia berdiri di pelaminan. Senyum mengembang. Baju baru. Pengantin baru. Tapi hati busuk.
Rekonstruksi digelar pada 8 Agustus. Sebanyak 33 adegan diperagakan Hanafi, disaksikan ratusan warga yang sudah menyimpan kemarahan. Teriakan terdengar dari pagar rumah. Beberapa melempar batu. Polisi sempat kesulitan mengevakuasi pelaku. Butuh dukungan Brimob untuk membawanya pergi dari rumah yang kini telah menjadi monumen kematian.
Adegan ke-21 hingga ke-23 adalah yang paling menyayat. Di sana, Hanafi memperagakan bagaimana ia menekan wajah Tiwi dengan bantal, menggunakan lututnya. Saat penyidik menyampaikan bahwa tengkorak korban ditemukan retak, Hanafi bersikeras menyangkal. “Saya cuma tekan pakai lutut, sumpah, Pak,” katanya. Tapi tidak ada sumpah yang bisa menghapus kekejian seperti itu.
Penulis bukan ahli forensik, tapi dari begitu banyak film bertema psikopat yang pernah penulis nonton, ada pola yang terasa akrab dalam kasus ini, dan itu menyeramkan. Psikopat sejati bukan yang brutal di permukaan, tapi yang tenang, rapi, dan berpikir seperti arsitek kejahatan. Hanafi menunjukkan semua itu. Ia tidak sekadar membunuh, tapi menyusun skenario. Ia merancang potongan-potongan kebohongan seperti menyusun puzzle: menyamar sebagai korban untuk mengajukan cuti, memanipulasi waktu kematian agar tubuh yang ia sembunyikan tak langsung dicari. Semua dilakukan dengan ketenangan yang mengerikan, seperti tokoh-tokoh fiksi paling gelap yang pernah penulis saksikan, bedanya, ini nyata. Dan justru karena nyata, jauh lebih mengerikan.
Delapan saksi telah diperiksa. Bukti digital telah dikumpulkan. Pasal yang dikenakan kepada Hanafi adalah 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati. Atau paling ringan: 20 tahun penjara. Tapi bahkan 20 tahun kurungan pun tak akan mampu menebus kehilangan seorang perempuan muda yang merantau untuk bekerja, hanya untuk dijebak dan dibunuh oleh orang yang ia kenal.
Tiwi bukan sekadar korban pembunuhan. Ia korban dari wajah ganda seorang manusia yang tampak biasa dan Ia korban dari zaman yang memungkinkan seorang psikopat menyembunyikan kejahatannya di balik kesantunan.
Dan kini, wajah itu terpampang. Hanafi. Di depan publik. Tapi sebelum semua ini menjadi catatan hukum yang dingin, kita perlu mengingatnya sebagai cerita manusia tentang betapa tipisnya jarak antara rekan kerja dan pemangsa, antara rasa percaya dan bahaya yang mematikan.
Penulis tidak mengenal Tiwi secara pribadi. Begitu pula Hanafi, nama yang kini terasa begitu berat untuk diucapkan tanpa amarah. Tidak ada keterlibatan emosional, tidak ada kedekatan personal. Tapi bagaimana mungkin tidak tergerak? Bagaimana mungkin tidak merasa getir saat membaca kronologi yang lebih mirip adegan film horor daripada kenyataan di sebuah rumah biasa?
Yang ada hanya keprihatinan mendalam. Bukan hanya karena seorang perempuan muda yang penuh harapan harus meregang nyawa dengan cara sekeji itu, tapi juga karena pelakunya adalah orang yang dikenalnya, yang hidup bersamanya dalam lingkar yang sama. Seorang psikopat yang menyusun kejahatannya dengan ketenangan yang dingin, dan itulah yang paling menakutkan.
Untuk kekejian semacam ini, tidak ada alasan. Tidak ada pembenaran. Yang ada hanyalah kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan. Bahwa Hanafi harus dihukum seberat-beratnya, sesuai hukum yang berlaku. Bukan untuk memuaskan amarah semata, tapi demi menjaga batas antara manusia dan iblis yang menyamar.
Karena bila wajah seperti itu bisa lolos tanpa ganjaran, maka kita semua sedang hidup di antara bahaya yang tak kasatmata dan tak ada yang benar-benar aman.
𝗢𝗹𝗲𝗵: 𝗦𝗮𝗯𝗿𝗶 𝗛𝗮𝗯𝗶𝗯
0 Komentar