Sherly Tjoanda Kebahagiaan Rakyat, Hukum dan Realita Sosial di Maluku Utara

 

Maluku Utara dikenal secara luas sebagai salah satu provinsi paling bahagia di Indonesia (BPS tahun 2021), sebuah reputasi yang didukung oleh keindahan alamnya yang memukau, serta kuatnya ikatan sosial masyarakatnya yang berbasis solidaritas dan gotong royong. Namun, di balik citra kebahagiaan dan kemajuan ekonomi yang terus berkembang khususnya di sektor pariwisata dan pertambangan terdapat kenyataan pahit yang kerap tersembunyi: ketidakadilan hukum dan sosial yang dialami oleh rakyat kecil, seperti yang tergambar dari kasus penahanan 11 warga Maba Sangaji yang memperjuangkan kebutuhan dasar mereka.

Provinsi Maluku Utara menawarkan pesona alam yang luar biasa dengan pulau-pulau yang tersebar di sekitarnya Ternate, Tidore, Halmahera, dan pulau-pulau kecil lainnya yang menciptakan pemandangan menawan dan kehidupan sosial yang erat. Kebahagiaan masyarakat diukur bukan hanya dari indikator ekonomi, tapi juga dari kedekatan dengan alam dan kuatnya solidaritas sosial. Ini tercermin dalam data yang dirilis Badan Pusat Statistik, yang menempatkan Maluku Utara sebagai salah satu provinsi dengan tingkat stres masyarakat terendah di Indonesia.

Namun, jika kita melihat lebih dekat, kisah 11 petani dari desa Maba Sangaji yang dipenjara karena memperjuangkan akses air bersih untuk ladang pertanian mereka, memberikan gambaran lain dari "kebahagiaan" yang selama ini dipromosikan. Dalam konteks pembangunan ekonomi yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam melalui sektor pertambangan, rakyat kecil yang mengandalkan pertanian sebagai sumber hidup justru menghadapi kriminalisasi dari aparat hukum. Kasus ini memunculkan pertanyaan kritis, apakah kebahagiaan yang ditampilkan di permukaan provinsi Maluku Utara benar-benar mencakup seluruh lapisan masyarakat?

Rasulullah SAW menyebut ada 7 indikator kebahagiaan menurut agama Islam; Qolbun syakirun atau yang selalu bersyukur, Al azwaju shalihah pasangan hidup yang saleh, Al auladun abrar anak yang saleh, Al biah sholihah lingkungan yang kondusif untuk iman kita, al-malul halal harta yang halal, tafakuh fid dien memahami agama dan barokatun umum umur yang barokah.

Kebahagian dalam pandangan kristen, merujuk pada kitab Injil Matius 5:1-12 mengatakan bahwa pengertian dan makna bahagia, bukan sekedar yang membuat bahagia saja. Dikatakan, bebahagialah orang miskin di hadapan Allah, yang berdukacita, yang lemah lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, yang suci hatinya, yang membawa damai, dan yang dianiyaya karena kebenaraan. Kebahagian tersebut kebutuhan manusia pada masa kini dan masa yang akan datang.

Idealnya, Negara adalah instrumen yang harus melindungi hak-hak dasar rakyat, seperti hak atas hidup layak, sumber daya alam, dan penghidupan yang baik (uu no.11 thn 2011 tentang perumahan dan permukiman). Namun dalam praktik, hukum dapat terseret menjadi alat kekuasaan yang lebih berpihak pada kepentingan besar seperti perusahaan tambang, ketimbang melindungi rakyat kecil. Kasus penahanan warga Maba Sangaji menjadi simbol kegagalan negara dalam membahagiakan rakyat, dengan menghadirkan ketidakadilan dan ketidakamanan bagi mereka yang berjuang mempertahankan hak hidup sederhana.

Keadilan harus menjadi landasan utama di provinsi yang kita cintai ini. Hal ini penulis kira menjadi catatan penting jika kita berani jujur dan kritis melihat pesta demokrasi Pilkada kemarin yang telah dilalui bersama, suatu kebahagiaan menjadikan Sherly Tjoanda sebagai gubernur terpilih, sekaligus untuk pertama kalinya seorang pemimpin wanita yang kebetulan beragama kristen memimpin negeri jazirah al mulk, hal ini menunjukan bahwa masyarakat Maluku Utara telah tersadarkan dari hak politiknya yang telah lama dituntun oleh prasangka seixm, ageism, patriarki dan sara.

Maka sebuah dinamika yang baik seperti ini harus tetap di jaga dan di rawat dalam kehidupan masyarakat. Sebab ketidakadilan sosial jika ada dalam sebuah kelompok atau masyarakat tertentu, maka seperti yang di sampaikan Jimly Asshiddiqie ketidakadilan sosial pada gilirannya menyebabkan ketimpangan sosial semakin subur dan mengembalikan kesadaran buruk sebelumnya dalam berbagai tipe dan bentuk; diskriminasi berdasarkan sara, prejudice prasangka buruk kepada sesorang/kelompok, seixm perlakuan diskriminasi karena jenis kelamin terutama perempuan dan ageism, perlakuan diskriminasi terdahap orang atas dasar usianya, baik karena tua maupun karena lebih muda.

Pergantian kepemimpinan agar hukum benar-benar dapat membahagiakan masyarakat. Perlindungan terhadap hak-hak petani dan masyarakat adat yang hidup di sekitar daerah pertambangan sangat penting agar tidak terjadi eksploitasi yang merugikan secara sosial dan ekonomi. Pemerintah perlu menegaskan komitmen pada pembangunan berkelanjutan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan, bukan hanya pembangunan ekonomi semu yang mengabaikan akar masalah.

Kasus ini adalah panggilan untuk menelaah kembali makna kebahagiaan dan kemajuan di Maluku Utara. Kebahagiaan yang sejati tidak hanya milik sedikit orang yang menikmati kemewahan atau kemeriahan pembangunan, melainkan hak setiap warga negara termasuk mereka yang selama ini berjuang tanpa suara di pedesaan. Reformasi penegakan hukum yang transparan, adil, dan manusiawi harus segera dilakukan agar Maluku Utara dapat menjadi provinsi yang bukan hanya terlihat bahagia di panggung promosi, tetapi juga nyata di kehidupan rakyatnya.

Hukum yang ideal adalah hukum yang mendukung dan membahagiakan rakyat melalui keadilan sosial, perlindungan hak, dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Realita di Maluku Utara mengingatkan kita bahwa kemewahan dan kebahagiaan yang hanya di permukaan tidak cukup. Hukum dan kebijakan publik harus memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, terutama petani dan rakyat kecil, mendapatkan perlakuan adil dan hak hidup yang layak. Dengan membebaskan 11 warga Maba Sangaji dan memberikan perhatian penuh pada krisis yang mereka alami, Maluku Utara dapat melangkah menjadi provinsi yang berkeadilan dan bahagia secara menyeluruh.

Penulis : Mr.Chulleyevo

(Pegiat literasi Desa Were)

0 Komentar