Kami Tidak Menolak Hukum, Tapi Kami Patut Curiga
Oleh : Zulfikar Akbar Langkara (Advokat)
Sebagai pihak yang berdiri bersama mereka sejak awal, saya menyaksikan bagaimana konflik ini bukan soal hukum semata, tetapi pertarungan eksistensial antara modal dan martabat manusia. Sebuah perusahaan tambang beroperasi di tanah adat tanpa persetujuan kolektif. Ketika masyarakat menolak, mereka tidak diberi dialog, tetapi diberi borgol.
Putusan praperadilan hanya menguji aspek formal prosedur. Sayangnya, hukum yang hanya berhenti di prosedur sering kali membutakan diri dari kebenaran substansial. Apa yang disebut sah secara formil, belum tentu adil secara sosial.
Penggunaan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat untuk menjerat warga yang membawa parang dan tombak adalah penghinaan terhadap logika hidup petani. Alat yang mereka gunakan untuk berkebun dan bertahan hidup kini disulap menjadi alat bukti kriminal. Pasal 162 UU Minerba, yang semestinya dikritisi karena pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi, kembali digunakan untuk membungkam suara-suara yang menolak tambang. Bahkan Pasal 368 KUHP (pemerasan) dipaksakan masuk ke dalam narasi aparat—seolah masyarakat yang melindungi lahannya adalah pemalak.
Di sini kita melihat bagaimana hukum dapat dijadikan alat untuk menormalisasi ketimpangan. Seharusnya hukum melindungi yang lemah dari yang kuat. Tapi dalam kasus ini, hukum justru berdiri di samping korporasi, bukan rakyat.
Kami Tak Menolak Hukum, Kami Menuntut Keadilan.!
Saya tidak dalam posisi menolak proses hukum. Tapi kami punya hak untuk curiga, mempertanyakan, dan mengkritisi ketika hukum dipakai sepotong-sepotong. Penetapan tersangka ini tidak berdiri di ruang hampa ia lahir dari konflik agraria yang penuh kekerasan struktural dan sejarah penyingkiran.
0 Komentar