Di Antara Debu Tambang Dan Teriakan Buruh, Ada Seorang Perempuan Yang Tak Pernah Gentar
“𝐷𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑏𝑎𝑡 𝑠𝑜𝑎𝑙 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎, 𝑚𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑎𝑑𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖. 𝐼𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑘 𝑑𝑖 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑘𝑒𝑝𝑢𝑡𝑢𝑠𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑘𝑎 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛. 𝐾𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑗𝑎𝑡𝑖 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑏𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚, 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛-𝑝𝑒𝑙𝑎𝑛, ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑢𝑙𝑢 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡.” 𝐴𝑏𝑖 𝑆𝑎𝑚𝑑𝑖
Setiap kali tanggal 1 Mei menyapa, Halmahera Tengah seakan menanggalkan sunyinya. Suara mesin-mesin tambang yang biasanya menderu sepanjang hari kini bersaing dengan suara manusia. Buruh-buruh berbaris di jalan, bukan dengan alat kerja di tangan, tapi dengan poster, pengeras suara, dan suara hati yang lama tertahan. Di sini, di tanah yang dahulu hanyalah ladang dan semak, telah tumbuh industri raksasa bernama PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Dan di sini pula, Hari Buruh tak lagi hanya seremoni. Ia telah menjadi panggung perlawanan, cermin harapan, sekaligus titik temu antara mimpi yang dibangun dan kenyataan yang belum juga seimbang.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, satu nama terus terdengar di tengah orasi. Nama itu tidak baru. Ia seakan menjadi simbol dari segala keluhan dan kegagalan. Tapi anehnya, justru karena ia terlalu sering disebut, orang perlahan lupa bertanya: siapa sebenarnya dia?
Penulis pun diliputi oleh rasa ingin tahu yang tidak bisa diabaikan. Nama itu menggelitik kesadaran, menyelinap di antara fakta dan opini, seolah menantang untuk dikenali lebih dalam. Maka, dimulailah perjalanan menelusuri lorong-lorong informasi, dari para buruh yang pulang dengan wajah lelah, hingga para penyelia yang diam-diam menaruh hormat. Dan pada ujung pencarian itu, berdirilah sosok yang tak disangka: Rosalina Sangadji.
Ia adalah General Manager HRD di PT IWIP. Seorang perempuan paruh baya yang tidak memoles citra. Tidak muncul di baliho. Tidak berbicara lantang di depan publik. Tapi di balik meja kerjanya, ia menciptakan gelombang yang pelan tapi dalam, terkadang sunyi, tapi nyaring dampaknya.
Kebijakannya tak selalu populer. Banyak yang menyerangnya, menyebutnya gagal, menyalahkannya atas segala masalah hubungan industrial yang memang belum seluruhnya selesai. Tapi ketika penulis menyusuri lebih jauh, mendengar lebih dalam, dan melihat dari dekat apa yang sebenarnya terjadi, potongan-potongan realitas mulai menyatu. Rosalina bukan sekadar pengelola SDM. Ia adalah pengubah peta.
Salah satu terobosannya yang paling mencolok dan nyaris luput dari pemberitaan adalah keberhasilannya mendorong program pelatihan alat berat dan pengelasan bagi masyarakat lokal. Sebuah langkah yang awalnya dipandang mustahil, sebab siapa yang mau melatih orang-orang tanpa pengalaman, tanpa sertifikat, bahkan tanpa pendidikan teknik? Tapi Rosalina menjawab tantangan itu bukan dengan kata-kata, melainkan dengan kerja nyata. Hingga kini, sudah lebih dari 19.000 orang yang lulus dari program pelatihan itu. Dan mereka bukan hanya lulus, mereka bekerja. Di dalam IWIP dan mitra-mitranya. Di jalur produksi, di bengkel-bengkel besar, di ruang-ruang yang dahulu tertutup bagi mereka yang lahir dari kampung-kampung pesisir dan lereng.
Angka itu bukan hanya statistik. Itu adalah nama-nama, wajah-wajah, keluarga-keluarga. Mereka kini punya penghasilan tetap. Anak-anak mereka masuk sekolah dengan sepatu baru. Mereka bukan lagi penonton di tepi industri, tapi pelaku utama di dalamnya. Rosalina menyebut program itu sebagai “investasi terhadap manusia lokal”. Dan bagi penulis, itu adalah bentuk keberpihakan yang tak bisa disangkal.
Penulis sempat berdiskusi panjang dengan Putra Sian Arimawa, anggota DPRD Halmahera Tengah sekaligus Wakil Ketua Komisi I. Dalam percakapan yang berlangsung penuh kejujuran, Putra membenarkan secara tegas bahwa apa yang dilakukan oleh Rosalina adalah langkah nyata yang tidak semua orang berani ambil. “Itu benar,” katanya. “Program pelatihan alat berat dan pengelasan itu sudah memberi dampak langsung. Anak-anak lokal, yang sebelumnya tidak tahu cara mengoperasikan mesin sekalipun, kini bekerja dan punya keahlian.” Ia juga menambahkan bahwa IWIP, di bawah pengelolaan SDM saat ini, telah membuka ruang karier yang luas dan yang paling penting ruang demokrasi.
“Kita punya 11 serikat buruh di dalam IWIP,” lanjut Putra. “Itu bukti bahwa kran demokrasi memang dibuka. Buruh bisa berserikat, menyuarakan aspirasi, dan itu dilindungi.” Dalam industri yang kerap dianggap tertutup dan hierarkis, ini bukan hal sepele. Ini adalah kemajuan struktural.
Tentu saja tidak semua ideal. Masih ada kritik. Masih ada persoalan kontrak kerja, perbedaan upah, dan suara-suara yang menuntut keadilan lebih. Namun yang penulis lihat dari dekat, Rosalina adalah satu dari sedikit orang dalam tubuh perusahaan besar yang tidak lari dari masalah. Ia mendengar. Ia mencatat. Dan ia mencoba meski seringkali dengan daya yang terbatas.
Dalam diamnya, ia menjadi penjaga prinsip. Dalam serangan-serangan yang ditujukan padanya, ia tetap berdiri. Dan dalam sistem yang lebih suka pada angka dan target produksi, ia masih percaya pada nilai: bahwa manusia harus lebih utama dari mesin.
Kini penulis paham, mengapa nama itu terus muncul. Karena ia bukan sekadar pejabat. Ia adalah titik tumpu banyak hal yang selama ini luput dari perhatian publik. Dan mungkin, ia juga jadi mudah diserang karena ia paling dekat dengan para pekerja, paling nyata dampaknya, dan paling terlihat di garis depan.
Di Hari Buruh tahun ini, penulis tidak sekadar mencatat demonstrasi. Penulis menulis ini sebagai pengakuan. Bahwa di balik segala kekurangan dan tantangan yang masih mengintai, Rosalina Sangadji adalah salah satu alasan mengapa banyak masyarakat Halmahera kini punya harapan baru.
Dan bagi penulis, IWIP wajib mempertahankan sosok ini. Ia bukan hanya pelaksana. Ia adalah penghela arah. Tanpanya, IWIP bisa saja menjadi pabrik yang besar namun hampa jiwa. Tapi dengannya, IWIP memiliki denyut kemanusiaan. Memiliki arah yang lebih dari sekadar produksi: arah menuju pembangunan yang manusiawi.
Sebab di tanah industri yang keras ini, suara buruh akan selalu ada. Tapi yang lebih jarang dan karenanya lebih penting adalah suara dari dalam sistem yang berani berdiri bersama buruh. Rosalina adalah salah satunya. Dan sejarah akan mencatatnya begitu. Wallahu a’lam bishawab
“May Day tak sekadar ruang menggugat, tapi juga waktu merenung bahwa di tengah krisis global dan gelombang PHK massal, masih ada komitmen yang tak goyah. Seperti IWIP, yang memilih merawat tenaga, bukan menghapusnya. Karena prestasi buruh bukan hanya soal hasil, tapi juga tentang siapa yang tetap berdiri ketika yang lain runtuh.” Putra Sian Arimawa
Penulis : Abi Samdi
0 Komentar